Kamis, 18 Februari 2010

Diposting oleh iqbal

Pendahuluan
Di antara faktor-faktor paling utama yang mendorong jatuhnya kekuasaan Soeharto pada 1998 adalah ‘gerakan rakyat’. Jauh sebelumnya, dunia telah pula menyaksikan bagaimana kekuasaan rezim-rezim birokratik totaliter di Eropa Timur tumbang oleh gerakan serupa pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Dalam kedua kasus tersebut, gerakan rakyat bukanlah suatu gerakan yang diarahkan untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan; melainkan, ia adalah suatu kekuatan kontrol atas kekuasaan, suatu perlawanan terhadap kesewenangan oleh kelompok atau individu dalam masyarakat. Gerakan semacam itu hanya berkemungkinan muncul manakala tingkat penyerapan kepentingan rakyat oleh suprastruktur politik (terutama legislatif dan eksekutif) berada pada tataran minimum. Pada situasi ini, gerakan-gerakan bermuatan politik yang berada di luar struktur kekuasaan kerap dipandang sebagai ancaman yang berpotensi melemahkan negara sehingga kadang dihadapi dengan kekerasan.
Dalam konteks relasi negara-masyarakat, Indonesia di masa Orde Baru adalah suatu model khas yang menunjukkan bagaimana hegemoni negara menghasilkan tidak hanya ketakutan dan ketundukan relatif, tetapi juga dukungan oleh sebagian rakyat terhadap otoritarianisme negara. Namun, pada bagian-bagian awal masa pasca-negara Orde Baru, posisi dominan negara tersebut mengalami pelemahan yang signifikan; sebaliknya, masyarakat demikian kuat mendesakkan kepentingan-kepentingan mereka (yang tidak pernah tunggal) agar diakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Di sini, penguatan relatif masyarakat diikuti oleh pelemahan relatif negara. Selanjutnya, seiring menguatnya legitimasi pemerintah dan DPR yang dihasilkan Pemilu, negara segera menemukan kapasitas minimal yang dibutuhkannya untuk menyelenggarakan kekuasaan secara efektif. Dalam sekurangnya lima tahun terakhir, negara relatif berkemampuan untuk menggerakkan sumberdayanya secara efektif dalam proses legislasi maupun eksekusi keputusan-keputusan.
Namun demikian, dalam beberapa kasus kita mencermati bahwa penguatan relatif negara tersebut agaknya diikuti oleh gejala semakin berjaraknya proses pengambilan keputusan oleh struktur kekuasaan negara dari kepentingan majemuk masyarakat. Berkerasnya negara untuk menegaskan independensi relatifnya dari desakan kepentingan masyarakat semacam itu antara lain dapat kita saksikan pada proses legislasi UU Pornografi, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UU Kebebasan Informasi Publik. Gejala yang sama juga mengemuka pada keengganan negara untuk memberantas korupsi secara menyeluruh; lebih dari itu, muncul upaya-upaya sistematis untuk melemahkan lembaga dan gerakan anti-korupsi. Terakhir bahkan kebebasan berekspresi mendapat tantangan besar ketika terjadi intimidasi terhadap pers dan pelarangan peredaran film tertentu.
Rakyat pun bergerak. Dalam beberapa bulan terakhir muncul gerakan-gerakan penentangan terhadap gejala ancaman kebebasan di negara yang belum lama mencicip kebebasan ini. Mengesankan melihat bagaimana gerakan rakyat melakukan perlawanan dengan tanpa kekerasan. Gerakan ini pun tidak lagi terkesan elitis, sebagaimana gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan para aktivis dan intelektual pada kurun 1970-an hingga 1990-an, dengan keterlibatan berbagai elemen masyarakat. Yang juga mengesankan adalah bagaimana gerakan rakyat tersebut mengambil bentuk yang beragam; jika di masa lalu gerakan turun ke jalan atau diskusi adalah hal-hal yang lazim dilakukan sebagai bentuk perlawanan, kini perlawanan di ‘dunia maya’, pengumpulan uang recehan, dan konser musik memiliki simbol perlawanan yang sama kuat dengan model-model gerakan terdahulu.
Dengan gambaran di atas, benarkah bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran? Bagaimana menilik dinamika di atas dalam kerangka hubungan negara-masyarakat di negara demokrasi baru seperti Indonesia? Menarik untuk membahas persoalan tersebut melalui suatu diskusi yang diharapkan secara interaktif melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap terpeliharanya kebebasan di Indonesia.

Tema Kegiatan
Tema kegiatan ini sengaja kami beri tema “Relasi Strong State-Strong Society”, berupaya mengungkap fakta dan cita hubungan masyarakat sipil dan negara agar konsolidasi demokrasi semakin kokoh di masa depan.
Tujuan Kegiatan
Kegiatan ini bertujuan transformasi ilmu atau gagasan-gagasan di kalangan mahasiswa, akademisi, wartawan, aktivis partai politik dan masyarakat secara umum. Sebuah upaya dinamis memahami dan merefleksikan konteks kebangsaan untuk kemudian memperbaikinya. Melalui Diskusi Publik ini, share pengetahuan juga menjadi tujuan penting supaya gagasan tentang kebangsaan senantiasa menjadi diskursus yang selalu ‘hidup’ di kalangan kaum muda dan masyarakat. Tujuan sakral acara ini, antara lain:
1.Mencermati dinamika relasi negara-masyarakat, terutama dalam konteks politik Indonesia kontemporer.
2.Memotret potensi-potensi ancaman terhadap kebebasan di Indonesia dan memberikan alternatif bagi penguatan posisi tawar masyarakat terhadap negara.
Bentuk Kegiatan
Kegiatan ini sebetulnya kelanjutan dari sekolah demokrasi setiap minggunya. Bentuk kegiatan ini studium general berupa “Diskusi Publik” supaya apa yang kami pikirkan juga dapat direfleksikan ulang oleh mahasiswa, akademisi, dan masyarakat demi kemajuan bangsa dan Negara.


Target Kegiatan
Kami mempunyai beberapa target dari gagasan Diskusi Publik kali ini, antara lain:
Menghidupkan diskursus kebangsaan di kalangan civitas academica, khususnya terkait dengan relasi negara dan masyarakat .
Berusaha mencari format baru ideal dalam konteks hubungan negara dan masyarakat di masa depan

Waktu dan Tempat Kegiatan
Diskusi akan diselenggarakan pada Jum’at, 22 Januari 2010, tepatnya dari jam 13.00-Selesai. Bertempat di auditorium Nurcholish Madjid universitas Paramadina Jakarta.

Narasumber/Pembicara
1.Eep S. Fatah (Universitas Indonesia).
2.Hanafi Rais (Komunitas Indonesia Baru).
3.Fadjroel Rahman
4.Ikrar Nusa bakti (LIPI)

Peserta Kegiatan
1.Kalangan mahasiswa dan akademisi.
2.Elemen-elemen organisasi non-pemerintah.
3.Aktivis partai politik.
4.Para jurnalis.
5.Kelompok-kelompok lain dalam masyarakat.


Struktur Panitia
Sebagaimana terlampir (lampiran I)

Anggaran Pendanaan
Sebagaimana terlampir (Lampiran II)

Penutup
Demikian proposal ini dibuat agar dipertimbangkan oleh pelbagai pihak. Besar harapan atas terealisasi dan suksesnya acara ini. Atas perhatian dan partisipasinya kami mengucapkan terima kasih.

Hormat Kami;
Abd. Rahman Zainal Abidin
Eksekutif Pelaksana Sekretaris


Lampiran I
STRUKTUR KEPANITIAAN
DISKUSI PUBLIK KOMUNITAS INDONESIA BARU (KIBAR)
SC
Ketua : Arif Susanto
Sek : Suhardin ( Yoris)
Anggota : Nisa
Ryan / Rere
Lalu
Ahmad
Septi

OC
Ketua : Abd. Rahman
Sekertaris : Zaenal Abidin
Bendahara : Koha
DIVISI-DIVISI
1.Konsumsi : Delima
Yunita

2.Dokumentasi : Reni Rosyida
Usturi

3.Acara : Lukman
Bagus
Ramli
Dede Kurniawan

4.Dok dan Perlengkapan :Syahrizal
: Reza

5.Akomodasi :Agung,
Bembeng
Qudrotullah.

Lampiran II
ANGGARAN PENDANAAN
DISKUSI PUBLIK KOMUNITAS INDONESIA BARU (KIBAR)
Kesekretariatan
Pembuatan Proposal Rp 30.000,-
Foto Copy Surat Undangan & Surat Ijin Rp 200.000,-
Spidol, Bulpen, Penghapus, Disket, Amplop Rp 50.000,-
Laporan pertanggungjawaban Rp 30.000,-
Total Rp 310.000,-

Konsumsi
Makan (100 org @ Rp 15.000) Rp 1.500.000,-
Snack (100 org @ Rp 6000) Rp 600.000,-
Total Rp 2.100.000,-


Dokumentasi
Handy Cam Rp 200.000,-
Camera Digital Rp 100.000,-
Total Rp 300.000,-

Acara
Pembicara (4 X 700.000,-) Rp. 2.800.000,-
Moderator Rp.500.000,-
Cenderamata (4X200.000,-) Rp. 800.000,-
Sewa tempat Rp. 2.500.000,-
Total Rp.6.600.000,-

Dek dan Perlengkapan
Spanduk : @Rp. 200.000 x 2 buah Rp. 400.000
Backdrop : @Rp. 200.000 x 1 buah Rp. 200.000
Total Rp. 600.000,-

Total Biaya Pengeluaran
Kesekretariatan Rp 310.000,-
Konsumsi Rp 2.100.000,-
Dokumentasi Rp 300.000,-
Acara Rp.6.600.000,-
Dek dan Perlengkapan Rp. 600.000,-

Total Keseluruhan Biaya Rp.9.910.000

0 komentar:

Posting Komentar

wilujeng sumping di blog abdi

slide PhoTo

photo

photo